Ada salah seorang dosen di universitas swasta dan ternama di Jakarta yang mengutarakan isi hatinya tentang kampusnya itu..
aku dapet infonya dari FB nya langsung... ok deh.. cekidot nih :
Dosen Killer-kah saya?
ShareSaya sudah mengajar di Binus sejak tahun 1988. Waktu itu Ibu Th Widia sendiri yang meminta saya untuk membimbing mahasiswa yang akan ikut ujian negara (termasuk saya). Waktu yang diberikan hanya dua bulan sampai hari ujian. Pelajaran yang saya harus ajarkan adalah bahasa pemrograman dBase II dan Lotus Makro. Setelah banyak pertimbangan akhirnya saya memenuhi permintaan Ibu Widya. Hasil dari bimbingan saya waktu itu lulus 100%.
Selanjutnya, Ibu Widia kemudian menunjuk saya untuk menjadi dosen yang mengajar matakuliah tersebut untuk STMIK Bina Nusantara disamping pelajaran lainnya di jurusan SI.
Bulan berlalu, tahun juga berganti. Demikian pula STMIK bertambah maju dan besar. Tapi cara ngajar saya dari tahun ke tahun tetap saya pertahankan guna menjaga mutu. Itu saya lakukan karena almamater saya, Saya sudah menganggap Binus sebagai bagian dari hidup saya. Saya rela tidak mengejar posisi dan jabatan dan tetap sibuk mengajar, demi mengharapkan segelintir mahasiswa yang saya ajar bisa membuktikan diri mereka di masyarakat agar nama Binus tetap harum karena kualitas yang baik.
Tapi cara saya mengajar seperti mulai terusik setelah Ibu menderita sakit dan wafat. Semua mulai berubah. Banyak aturan yang muncul...contoh : Dosen yang banyak tidak meluluskan mahasiswa ditegur, waktu untuk periksa ujian diperpendek, menggerakkan dosen untuk memberi nilai tulis walaupun jawaban mahasiswa salah, menekan dosen dengan mengatakan "Kalau banyak mahasiswa yang tidak lulus, mungkin saja dosennya yang tidak mampu", dan berbagai kegiatan lainnya yang akhirnya menjadikan para dosen menjadi "BERBAIK HATI" untuk memberikan nilai lulus pada mahasiswa walaupun mahasiswa tersebut tidak mampu sama sekali untuk pelajaran tersebut.
Semua yang saya katakan itu benar adanya dan itu sudah bukan rahasia lagi. Tapi karena mahasiswa diuntungkan dan dosen merasa tidak rugi kalau melakukan hal seperti itu, maka dari luar semua tampaknya ok saja. Memang, cara itu adalah cara yang paling jitu untuk mengakali pendidikan, sebab mahasiswa lulus sesuai nitanya masuk ke Binus, bagi dosen juga tidak ditegur oleh Kajur dan posisinya mengajar akan selalu aman karena disukai oleh Kajur.
Tapi lihatlah prestasi anak Binus di dalam masyarakat, kebanyakan dari mereka cuma jadi sales atau marketing. Kalaupun ada job expo, lowongan yang terbesar terisi cuma marketing, management training atau sales. Kasihan sekali........
Susah-susah sekolah, ayah ibu banting tulang menghemat penghasilan, hasilnya anaknya lulus , tapi cuma untuk jadi sales atau marketing saja......posisi pekerja yang tidak memerlukan IT.....
Terus terang saja, saya tidak tega untuk memberikan mahasiswa angka lulus kalau mereka sebenarnya tidak menguasai pelajaran tersebut. Sebab saya merasa saya berdosa karena saya berbohong. saya berbohong pada mahasiswa, berbohong pada orang tua mereka (tidak bisa diberi nilai lulus), berbohong pada masyarakat dan yang terpenting berbohong pada almamater sendiri dengan menghasilkan mahasiswa yang sebenarnya tidak mempunyai kemampuan tersebut. Malu saya...malu....
Oleh sebab itu, dalam penilaian saya sangat ketat, tapi saya tidak pernah mengurangi nilai yang seharusnya diperoleh mahasiswa. saya menilai ujian sesuai porsi nilai yang ditetapkan, cuma tidak pernah ada nilai tulis dan nilai untuk mengkatrol nilai agar mahasiswa yang lulus jadi banyak.
Hal ini saya lakukan karena saya menempatkan posisi saya sebagai seorang ayah. Kalau saya orang ayah, tidak mungkin saya mau memasukkan anak saya ke sekolahan / universitas yang hanya memberikan stempel lulus tapi tidak bisa menjamin anak saya memperoleh ilmu yang diajarkan. Buat apa saya membayar sejumlah uang tapi anak saya tidak bisa apa2x, cuma bisa ngakali orang tuanya (Lulus tanpa mutu).
Saya juga tidak ingin kejadian kasus Prita terulang di dunia IT. Sebab kalau hal itu terulang, Binus yang menjadi almamater saya akan terkubur selamanya.
Hal yang juga mendorong saya demikian adalah karena saya mendapatkan informasi dari teman-teman saya (ex STMIK Bina Nusantara) dan juga beberapa pimpinanperusahaan bahwa semakin hari, semakin sedikit mahasiswa Binus yang bisa lewati test yang dilakukan perusahaan.
Terus terang saja, memberikan nilai lulus pada mahasiswa itu sangat mudah. Seringkali mahasiswa sangat senang akan hal seperti ini. tapi tahukah bahwa sebenarnya dosen yang seperti itu justru membunuh mahasiswa itu sendiri. Sebab tidak mungkin mahasiswa itu bisa bekerja sesuai sertifikat pendidkan yang dimilikinya. Lalu, kalau memang mau kerja dibidang tersebut, mahasiswa tersebut juga tidak mungkin belajar kembali di S1 yang sudah dinyatakan lulus.
Dosen menilai mahasiswa paling lama satu sampai lima semester, tapi mahasiswa akan dimilai oleh masyarakat selama hidupnya. Jadi kalau ada pemberian nilai bagus untuk matakuliah yang memang tidak dikuasai, seharusnya mahasiswa menolak, karena itu sama saja membunuh masa depan mahasiswa.
Dalam benak saya tetap berpendapat, sekolah / universitas adalah tempat untuk menuntut ilmu. Selama masih tidak bisa, tidak perlu malu untuk terus menuntut ilmu. kalau tidak belum menguasai ilmu dan diberikan sertifikat lulus, itu sama saja kita diusir dari tempat belajar kita. Sayang uang pangkal yang sudah dibayarkan orang tua yang dicari dengan bercucuran keringat tapi tanpa hasil.
Nah, demikianlah dasar pemikiran saya dalam mengajar, terutama dalam memberi nilai. Kalau anda sudah baca yang saya tulis, masihkah saya anda anggap saya sebagai dosen killer? Ataukah anda akan mengatakan tindakan saya adalah benar? Silahkan saja...semua terserah anda. Yang pasti, saya selalu percaya semua di dunia ini akan seimbang....Apapun yang anda buat akan berbuah dikemudian hari....
Selanjutnya, Ibu Widia kemudian menunjuk saya untuk menjadi dosen yang mengajar matakuliah tersebut untuk STMIK Bina Nusantara disamping pelajaran lainnya di jurusan SI.
Bulan berlalu, tahun juga berganti. Demikian pula STMIK bertambah maju dan besar. Tapi cara ngajar saya dari tahun ke tahun tetap saya pertahankan guna menjaga mutu. Itu saya lakukan karena almamater saya, Saya sudah menganggap Binus sebagai bagian dari hidup saya. Saya rela tidak mengejar posisi dan jabatan dan tetap sibuk mengajar, demi mengharapkan segelintir mahasiswa yang saya ajar bisa membuktikan diri mereka di masyarakat agar nama Binus tetap harum karena kualitas yang baik.
Tapi cara saya mengajar seperti mulai terusik setelah Ibu menderita sakit dan wafat. Semua mulai berubah. Banyak aturan yang muncul...contoh : Dosen yang banyak tidak meluluskan mahasiswa ditegur, waktu untuk periksa ujian diperpendek, menggerakkan dosen untuk memberi nilai tulis walaupun jawaban mahasiswa salah, menekan dosen dengan mengatakan "Kalau banyak mahasiswa yang tidak lulus, mungkin saja dosennya yang tidak mampu", dan berbagai kegiatan lainnya yang akhirnya menjadikan para dosen menjadi "BERBAIK HATI" untuk memberikan nilai lulus pada mahasiswa walaupun mahasiswa tersebut tidak mampu sama sekali untuk pelajaran tersebut.
Semua yang saya katakan itu benar adanya dan itu sudah bukan rahasia lagi. Tapi karena mahasiswa diuntungkan dan dosen merasa tidak rugi kalau melakukan hal seperti itu, maka dari luar semua tampaknya ok saja. Memang, cara itu adalah cara yang paling jitu untuk mengakali pendidikan, sebab mahasiswa lulus sesuai nitanya masuk ke Binus, bagi dosen juga tidak ditegur oleh Kajur dan posisinya mengajar akan selalu aman karena disukai oleh Kajur.
Tapi lihatlah prestasi anak Binus di dalam masyarakat, kebanyakan dari mereka cuma jadi sales atau marketing. Kalaupun ada job expo, lowongan yang terbesar terisi cuma marketing, management training atau sales. Kasihan sekali........
Susah-susah sekolah, ayah ibu banting tulang menghemat penghasilan, hasilnya anaknya lulus , tapi cuma untuk jadi sales atau marketing saja......posisi pekerja yang tidak memerlukan IT.....
Terus terang saja, saya tidak tega untuk memberikan mahasiswa angka lulus kalau mereka sebenarnya tidak menguasai pelajaran tersebut. Sebab saya merasa saya berdosa karena saya berbohong. saya berbohong pada mahasiswa, berbohong pada orang tua mereka (tidak bisa diberi nilai lulus), berbohong pada masyarakat dan yang terpenting berbohong pada almamater sendiri dengan menghasilkan mahasiswa yang sebenarnya tidak mempunyai kemampuan tersebut. Malu saya...malu....
Oleh sebab itu, dalam penilaian saya sangat ketat, tapi saya tidak pernah mengurangi nilai yang seharusnya diperoleh mahasiswa. saya menilai ujian sesuai porsi nilai yang ditetapkan, cuma tidak pernah ada nilai tulis dan nilai untuk mengkatrol nilai agar mahasiswa yang lulus jadi banyak.
Hal ini saya lakukan karena saya menempatkan posisi saya sebagai seorang ayah. Kalau saya orang ayah, tidak mungkin saya mau memasukkan anak saya ke sekolahan / universitas yang hanya memberikan stempel lulus tapi tidak bisa menjamin anak saya memperoleh ilmu yang diajarkan. Buat apa saya membayar sejumlah uang tapi anak saya tidak bisa apa2x, cuma bisa ngakali orang tuanya (Lulus tanpa mutu).
Saya juga tidak ingin kejadian kasus Prita terulang di dunia IT. Sebab kalau hal itu terulang, Binus yang menjadi almamater saya akan terkubur selamanya.
Hal yang juga mendorong saya demikian adalah karena saya mendapatkan informasi dari teman-teman saya (ex STMIK Bina Nusantara) dan juga beberapa pimpinanperusahaan bahwa semakin hari, semakin sedikit mahasiswa Binus yang bisa lewati test yang dilakukan perusahaan.
Terus terang saja, memberikan nilai lulus pada mahasiswa itu sangat mudah. Seringkali mahasiswa sangat senang akan hal seperti ini. tapi tahukah bahwa sebenarnya dosen yang seperti itu justru membunuh mahasiswa itu sendiri. Sebab tidak mungkin mahasiswa itu bisa bekerja sesuai sertifikat pendidkan yang dimilikinya. Lalu, kalau memang mau kerja dibidang tersebut, mahasiswa tersebut juga tidak mungkin belajar kembali di S1 yang sudah dinyatakan lulus.
Dosen menilai mahasiswa paling lama satu sampai lima semester, tapi mahasiswa akan dimilai oleh masyarakat selama hidupnya. Jadi kalau ada pemberian nilai bagus untuk matakuliah yang memang tidak dikuasai, seharusnya mahasiswa menolak, karena itu sama saja membunuh masa depan mahasiswa.
Dalam benak saya tetap berpendapat, sekolah / universitas adalah tempat untuk menuntut ilmu. Selama masih tidak bisa, tidak perlu malu untuk terus menuntut ilmu. kalau tidak belum menguasai ilmu dan diberikan sertifikat lulus, itu sama saja kita diusir dari tempat belajar kita. Sayang uang pangkal yang sudah dibayarkan orang tua yang dicari dengan bercucuran keringat tapi tanpa hasil.
Nah, demikianlah dasar pemikiran saya dalam mengajar, terutama dalam memberi nilai. Kalau anda sudah baca yang saya tulis, masihkah saya anda anggap saya sebagai dosen killer? Ataukah anda akan mengatakan tindakan saya adalah benar? Silahkan saja...semua terserah anda. Yang pasti, saya selalu percaya semua di dunia ini akan seimbang....Apapun yang anda buat akan berbuah dikemudian hari....
ini orangnya : Oei Pek Jin
dan ini notes nya : Dosen Killer-kah saya?
uwooo.. bisa jadi HOT NEWS nih kalo kayak gini? gimana masa depan bangsa? oalaahh... masih mending dia lulusan SD tapi skill nya bagus.. daripada ini? skill jelek tapi ternyata palsu.. ogah bgd deh eyke.. hehehe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar